Buat Apa Sekolah Tinggi-Tinggi….?

“Buat Apa Sekolah Tinggi-Tinggi….?”

DSCN0654
(CIAMIS,19/06/2016). MEMANG benar banyak orang yang “sukses” tanpa menempuh pendidikan formal. Namun bukan berarti mereka yang belajar melalui sekolah formal tidak berhasil meraih “sukses”. Jika dihitung-hitung, banyak orang yang justru gagal total karena tak sempat mengenyam pendidikan formal. Saya menterjemahkan ke-suksesan manusia bukan dari ukuran jabatan yang diraih atau kekayaan yang berhasil dikumpulkan, tetapi dari apakah individu mampu menjadi diri sendiri, hidup mandiri, tidak memberatkan/merepotkan dan apalagi sampai merugikan orang lain.
Orang sukses itu orang yang keberadaannya penuh kemandirian. Ia mempunyai kemampuan tertentu sebagai karya cipta yang di satu sisi mampu menghidupi dirinya sendiri, dan berguna untuk orang lain (masyarakatnya). Nah, kenyataannya banyak orang yang tak beruntung meraih kesempatan belajar di sekolah formal hidupnya kacau, merusak diri sendiri dan orang lain.
Saya ingin menegaskan, yang membuat orang itu mampu berkarya atau tidak, punya harga diri atau tidak, bukan ditentukan oleh apakah seseorang itu belajar di luar sekolah (otodidak) atau belajar di sekolah formal. Tamatan pendidikan formal yang jadi maling juga banyak, tapi banyak juga maling yang asal usulnya tak mengenyam pendidikan formal. Sebaliknya juga banyak jebolan pendidikan formal yang kapabel, terampil, dan bermoral, tapi jangan menutup mata proto-tipe manusia seperti itu juga bisa lahir dari otodidak. Berarti sekolah formal tak bisa divonis menjadi “biang kerok” ketidaksuksesan dalam hidup. Sukses tidaknya seseorang tergantung pada proses kreatif yang dilaluinya.
Masuk sekolah yang hebatnya seperti apa pun, membayarnya mahal, eksklusif, sudah bersertifikasi ISO 9001, lulusannya sudah banyak yang sukses di pekerjaannya, rasanya tidak berarti apa-apa jika individu bersangkutan tak memiliki etos belajar yang baik. Masuk sekolah top, tak ada gunanya jika tujuannya hanya mencari status untuk gagah- gagahan, mencari selembar ijazah, dan agar namanya dihiasi dengan gelar sarjana yang mentereng. Masuk sekolah formal tak cukup hanya sekadar datang, duduk, dan diam.
Punya Keahlian
Saya banyak menemukan teman yang bisa mencapai kemandirian hidup. Ketika ditanya apakah pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan program yang tertera dalam ijazahnya? Mereka jawab tidak, atau sedikit. Lalu buat apa kuliah tinggi-tinggi kalau bekerja di luar bidang kuliahnya?
Inilah problem pendidikan dan ketenagakerjaan di negeri ini. Lulusan pendidikan formal dengan beragam spesialisasi keahlian ternyata tidak mampu terserap lapangan pekerjaan. Ketika suatu bidang pekerjaan masih banyak membutuhkan tenaga kerja, orang beramai-ramai menyekolahkan anaknya kejurusan itu, akibatnya terjadi booming lulusan sementara lapangan kerjanya menjadi terbatas.
Di sisi lain mereka yang sudah bekerja baik di swasta apalagi di pemerintahan banyak yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Sementara mereka yang pengangguran dan ijazahnya cocok dengan kebutuhan sangat sulit meraih pekerjaannya karena kecilnya kesempatan akibat banyaknya lulusan di bidang bersangkutan.
Ketika selembar ijazah tidak lagi mampu mengantarkan seseorang pada pekerjaan yang sesuai dengan ijazannya, maka hanya faktor keahlian hidup yang bisa menghadapkan seseorang pada sebuah pekerjaan. Seorang teman mengaku sangat beruntung dirinya sejak kecil menyukai sebuah hobi atau keterampilan, sehingga ketika izajahnya mentok ke sana-sini, dengan keahliannya ia bisa memperoleh pekerjaan dan memulai kemandirian.
DSCN0679Menyesalkah bersekolah atau kuliah?
Saya kira tidak patut kita menyesal telah menuntaskan sebuah program pendidikan meski dengan biaya yang mahal. Tidak ada istilah menyesal untuk belajar sebuah ilmu, bila tujuan mulia. Hanya ke depan anak-cucu kita, ada baiknya lebih diarahkan bersekolah mencari ilmu dan juga mengembangkan keterampilan hidup. Syukur-syukur hobi, minat, daan kepintarannya bisa kian terasah karena bersekolah yang sesuai dengan potensi dan bakat dirinya. Bila sejak dini anak tidak diberi keleluasaan mencari dan mengembangkan potensi dirinya,maka masa muda remajanya habis hanya untuk mengejar selembar ijazah formal, kita takut mereka suatu saat kelak bila dihadapkan pada nasib kurang berun-tung, malah bingung tak bisa berbuat apa-apa. Ada yang nawarin ini, tak bisa, ada yang nawarin itu tak sanggup, kerja kasar gengsi, akhirnya menjadi beban hidup orang lain, nganggur tiada habisnya.
Menghadapi ketidakpastian di negeri ini, di mana lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi anak-anak kita kian sempit dan ketat persaingannya, para orangtua jangan terlena cukup merasa bangga pada perkembangan nilai anaknya semasa sekolah atau kuliah. Orangtua harus heran dan cemas bila anak-anaknya tidak menunjukkan sesuatu yang bisa dijadikan andalan kehidupannya kelak yakni bakat, dan keterampilan hidup. Sebab mengandalkan melulu pada angka-angka bukan jaminan meraih kemandirian. Suatu keahlian yang dimiliki anak-anak meski itu terkesan kecil, harus bisa dioptimalkan sebab kelak siapa tahu itu menjadi ‘penolong’ hidupnya.
Kurangi Orientasi Formalistik
Memang tak bisa kita pungkiri, orientasi formalistik yang terlalu dominan da-lam pendidikan formal menyebabkan lembaga ini kehilangan makna hakikinya, yakni menjadi tempat penyemaian benih-benih intelektualitas, moralitas, dan estetika.
Ukuran pendidikan formal yang serba positivistik itu menyebabkan output yang terbentuk menjadi seperti data statistik; kebenaran seolah sama dengan deretan angka-angka. Kebenaran seolah tak boleh lagi dirasakan. Dimensi “rasa” telah hilang dalam pro-ses kreatif mereka. Akibatnya, banyak lulusan pendidikan formal yang pandai berhitung, tapi rendah daya juangnya. Mudah putus asa, mudah menderita, mudah emosi, mudah merusak. Di sisi lain, proses pendidikan yang cenderung mekanistik pun melahirkan output seperti robot. Robot hanya bisa bekerja dengan instruksi, petunjuk, arahan, dan dengan cara yang sesuai dengan programnya. Bila programnya error, maka motoriknya pasti berantakan.
Namun, itu semua tergantung pada individu. Pendidikan formal sendiri saat ini masih cukup layak (meski belum sangat memuaskan) sebagai instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa. Paling tidak, individu bisa memperoleh beberapa hal penting: Pertama, penambahan pengetahuan (knowledge) sebagai basis wawasannya. Kedua, memperoleh dasar-dasar berpikir yang logis, sistematis, dan metodologis, sehingga bisa membantu mengarahkan yang bersangkutan tidak grusa-grusu dalam menjalani hidup. Kehidupan ini mesti dijalani seperti halnya kita menghampiri ilmu pengetahuan (scientific knowledge), yakni harus bertahap, masuk akal (logis), realistis (verifikatif-empirik).
Ketiga, secara sosiologis, individu dihadapkan pada interaksi sosial di mana bisa belajar akan persamaan dan perbedaan, konsensus dalam konflik, permisif dan filtering, dan sebagainya. Keempat, bagaimana pun dalam format pergeseran masyarakat dari yang bersifat agraris ke industri, belum menghargai individu berdasarkan karyanya, kapabilitasnya, kredibilitasnya, dan sejenisnya. Masyarakat masih mempertimbangkan aspek-aspek atribut simbolik seperti latar belakang pendidikan formalnya.
Bila eksistensi individu masih tergantung orang lain, maka atribut simbolik masih menentukan dalam stratifikasi sosial institusi di mana ia hidup. Hanya bagi individu-individu yang sangat kuat dan independenlah yang tak butuh gelar dari pendidikan formal. Beberapa contoh yang ditulis Beni Setia, seperti Arswendo Atmowiloto, D. Zawawi Imron, Umbu Landu Paranggi, Emha Ainun Nadjib, ataupun Beni Setia sendiri merupakan sosok yang memang creative oriented. Artinya, mereka justru tidak bisa kreatif jika terlalu banyak diatur, (Redi Panuju intt, 2006).
Dalam melihat masalah pendidikan formal ini, kita agak berbeda dengan Mas Beni. Saya lebih berpihak pada Rano Karno dengan semboyannya “Ayo Sekolah”. Pertimbangannya, masalah kultur belajar dalam masyarakat yang belum kondusif. Jadi hanya mengandalkan lingkungan saja belum bisa berharap banyak. Justru lingkungan menunjukkan tanda-tanda yang tak kompromis terhadap tradisi otodidak.
Bagaimana mungkin kita bisa belajar dari lingkungan yang penuh anarkisme, primordialisme, sektarian, dan arogansi? Apa yang bisa dipelajari dari situasi sosial yang “phatologis”? Sedang mengandalkan membaca, kita belum me-miliki peradaban membaca (reading habit) yang baik. Bahkan celakanya, sebelum peradaban literasi itu dikenal masyarakat, keburu diserbu oleh peradaban audio-visual. Jadi pendidikan formal sampai detik ini merupakan pilihan buruk daripada tak ada yang lain.
Justru persoalannya: bagaimana etos belajar otodidak itu bisa digiatkan di tengah pendidikan formal yang belum optimal? Sehingga content pendidikan formal yang dibatasi oleh sekat-sekat kurikulum itu bisa menjadi pijakan atau arahan garis besar mencapai kemajuan (guideline to improvement). Individu tidak boleh hanya mengandalkan transformasi melalui tatap muka di kelas. Tidak boleh ada prinsip bahwa individu hanya bisa pandai karena tatap muka di kelas. Individu hanya akan memperoleh manfaat optimal bila di luar pendidikan formal ia juga belajar oto-didak. Jadi, mereka yang belajar otodidak di kelas formal memperoleh dua manfaat sekaligus; mengenal kaidah-kaidah ilmu pengetahuan yang universal (berlaku di mana pun) dan mengenal diri sendiri dari aktualisasi yang kreatif. Jadi, tetaplah bersekolah tetapi harus kreatif. Semoga sukses di masa depan.***

Melayani Hypnotherapi, Hypnotis Training,&  Ruqyah Syar’iyyah Hubungi: Dr.Gumilar,S.Pd.,MM.,CH.,CHt.,pNNLP, Contact Person HP. 081323230058, PIN BB 58640EF8, atau https://drgumilar.wordpress.com/2014/01/15/hypnosis-shot-indonesia/***

Pos terkait

banner 468x60