PERSIAPAN FAKTOR PRIBADI UNTUK MEMUTUSKAN MENGIKUTI KULIAH PROGRAM DOKTOR (S-3)

PERSIAPAN FAKTOR PRIBADI

UNTUK MEMUTUSKAN MENGIKUTI KULIAH PROGRAM DOKTOR (S-3)

190Beberapa pertimbangan sebelum memutuskan Anda untuk melanjutkan ke jenjang Magister (S-2) atau Doktor (S-3) dapat ditentukan dengan melakukan analisis evaluasi diri (Self-Assessment) tentang hambatan, ancaman, peluang dan tantangan yang akan atau sedang dihadapi. Analisis yang perlu dilakukan tentang:

1. Dasari Melanjutkan Pendidikan Atas Dasar Keinginan (want) dan Kebutuan (need)

Muat Lebih

banner 300250

Dasari bahwa anda melanjutkan kuliah magister atau doktor dengan keinginan (want) dan kebutuhan (need) yang tidak bisa ditunda. Sebaiknya, kuliah untuk memperoleh pendidikan magister atau doktor bukan hanya sekedar mengejar embel-embel gelar saja untuk memperpanjang nama dan deretan gelar di kartu nama. Kalau demikian, malah anda akan mendapatkan status gelar baru yaitu Gila Gelar atau Gelar Gila?
Mari kita lihat kondisi realitas di sekitar kita di tengah hingar bingarnya pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat yang dapat dipercaya mewakili aspirasi para pendukungnya, kita melihat calon legislatif (Caleg), tidak sedikit yang memiliki ijazah Aspal (asli tapi palsu).Kalau terpilih menjadi anggota DPR/MPR, maka mereka adalah anggota DRP/MPR palsu. Undang-Undang yang akan dibuat pun akan palsu, negara Indonesia pun negara ‘palsu’. Anda dan saya palsu?.

Di sisi lain, coba lihat pula, alangkah hebatnya sebagian pejabat di tengah kesibukannya dia dapat menyelesaikan gelar akademis sarjana (S-1)/pascasarjana (S-2)/Doktor dalam waktu singkat. Hanya kurang satu tahun mereka mendapatkan gelar M.Pd.,MBA, M.si, MH dan lainnya, bahkan Doktor.Padahal ke kampus pun jarang datang karena memang tempat kuliahnya pun tak jelas.Bisa di hotel, atau di mana mereka mau. Tahu-tahu sudah mendapatkan gelar akademis yang panjaaaaang!.

Masalah membuat skripsi, thesis, atau disertasi tinggal nyuruh bikin pada biro jasa atau ‘ngoray ganti kulit’.Tinggal nyari skripsi lalu ganti kulit, ganti tempat dan ganti waktu.Sementara judulnya persis. Nampaknya sudah tak malu lagi jadi plagiator mencaplok hasil karya orang.

Jangan heran, saat ini banyak lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan jasa untuk menyulap Anda dalam waktu beberapa bulan mendapatkan gelar akademis seperti yang Anda inginkan. Mau sarjana, magister, doktor bahkan profesor! Yang jelas bukan gelar ‘Alm’ alias almarhum!.

Untuk mendapatkan gelar itu cukup mudah, tinggal keluarkan uang untuk jasa kepala lembaga pemberi gelar, urusan jadi beres! Tinggal diwisuda saja.
Dulu jaman penjajahan Belanda orang berlomba-lomba untuk mendapatkan gelar bangsawan, baik berupa gelar Raden, Roro, Pangeran, dan sebagainya.Sekarang mirip seperti kembali ke jaman kolonialis, orang berlomba-lomba mendapatkan gelar akademis. Akibatnya ada sebagian orang yang memplesetkan atau mungkin bukan menghinanya seperti, S.Pd. (Sarjana Penuh Derita), M.Sc. (mantan Sopir Colt) M.Ag. (Memang Aku Gila), M.Pd.(Magister Pamere Dosen), MH (Menjual Hukum), M.Si/MM (Mencari Susu Ibu/Malam-Malam) dan sebagainya.

Mereka mengejar gelar akademis demi naiknya naiknya pangkat dan karena memang gila jabatan.Atau untuk mempertahankan kegilaan terhadap jabatan yang diembannya dengan ‘gelar gila’ atau ‘gila gelar!’.

Apabila dilaksanakan pemutihan di lingkungan dinas/intansi/DPR/DPRD, tentu tak sedikit akan ditemukan ijazah Aspal (asli tapi Palsu), baik segi perolehannya, maupun legalitas embaga yang mengeluarkan ijazah.Ini diperlukan keberanian pihak yang berkompeten untuk berani menertibkannya. Tapi ini beresiko, malah bisa-bisa yang menertibkannya pun harus ditertibkan.

Sebenarnya gelar akademik itu hanya relevan apabila dipakai di lingkungan akademis kampus perguruan tinggi karena memang dunianya.Tapi sekarang di kantor dinas, pemda, DPR/DPRD, perusahaan dan para pejabat, dengan bangga mencampurkan gelar di balik namnya seperti H.Cepot Dawala, Drs.,MBA, M.Si,M.Pd,M.P., membuat kita berguman,”Wowww kereen! Banyak amat gelarnya?! Gila kali!?”.

Sebenarnya gelar atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan digunakan oleh lulusan perguruan tinggi yang berhak memiliki gelar atau sebutan tersebut.Penggunaan gelar dan atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan atau dalam bentuk singkatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penggunaan gelar akademik yang diperoleh dari perguruan tinggi luar negeri harus digunakan dalam bentuk asli sebagaimana diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan, secara lengkap atau dalam bentuk singkatan.
Pemberian gelar doktor kehormatan (Doctor honoris causa) dianugerahkan kepada tokoh yang dianggap perlu mendapatkan penghargaan tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan ataupun kebudayaan.
Satu hal yang wajar dalam teori pemasaran yakni ada Supply and Demand, banyak orang yang menginginkan (want) dan membutuhkan (need), maka harga pasar naik.Semakin banyak orang yang membutuhkan dan menginginkan gelar akademis, maka semakin banyak lembaga penyedia jasa pemberi gelar akademis, baik yang legal mapun yang ilegal. Mungkin semakin murah atau semakin mahal harganya (cost).

2. Pilihlah Perguruan Tinggi yang Jelas Legalitas Formalnya

Sebaiknya bagi mereka yang membutuhkan ijazah dan gelar akademis, pilihlah perguruan tinggi yang jelas legalitas formalnya diakui oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), SK Mendiknas atau Kopertis/Kopertais.Daftar perguruan tinggi yang legal dapat dilihat di Buku Direktori Perguruan Tinggi. Pilihlah anda kuliah di perguruan tinggi yang kampusnya jelas. Ada dosen, ada perkuliahan, lembaganya jelas, dan sistem proses belajar mengajarnya jalan. Tak kalah penting, pilihlah perguruan tinggi yang yang brand image-nya diterima pasar. Alangkah tepat apabila melaksanakan kata-kata klise “teliti sebelum membeli,” kalau anda tidak mau dikatakan “Gila Gelar” atau “Gelar Gila!”

Apabila fenomena di atas dikaitkan dengan keberadaan dan hakikat keberadaan manusia, ke manakah sebaiknya pendidikan itu diarahkan? Jawabannya untuk pembentukan kepribadian manusia, yaitu mengembangkan manusia sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan makhluk beragama (religius). Saat ini kita perlu bersama-sama mengenali berbagai elemen dalam sistem pendidikan kita secara mendalam sehingga dapat difungsikan dan dikembangkan.Di sinilah persoalan pentingnya penguasaan pendekatan sistem untuk mengkaji masalah-masalah, kelemahan, dalam mencapai tujuan secara efektif dan efesien. Dengan demikian akan tampak peninjauan secara mikro maapun makro berdasarkan pendekatan sistem, sebagian atau seluruhnya, bertahap atau sekaligus. Keputusan ini dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan secara optimal, produktif, efektif dan efesien.

3. Keputusan Melanjutkan ke Program Magister atau Doktor Dibuat Secara Matang

Mahasiswa yang mengambil program pascasarjana, terutama mereka yang mengambil program doktor, pada umumnya sudah bekerja dan berkeluarga, dan sudah tidak muda lagi alias mendekati dikatakan orang “TOP” (Tua Ompong Peot). Keputusan untuk mengambil program pascasarjana, baik program magister maupun doktor tentu merupakan keputusan yang dibuat secara matang, melibatkan pertimbangan berbagai pihak yang dekat dengan mereka, terutama keluarga, instansi tempat bekerja, dan sebagainya.
Dengan kondisi mahasiswa yang umumnya sudah bekerja, maka sebelum mengambil program pascasarjana, mahasiswa seyogianya memikirkan dengan matang bahwa “belajar sambil bekerja itu bukan hal yang mudah, karena harus bekerja dengan ekstra”. Dengan demikian, alasan yang dimiliki mahasiswa untuk mengambil program pascasarjana, terutama program doktor, sangat berpengaruh terhadap apa yang di cari dan dihasilkan dari program itu, dari pengalaman belajar sebagai mahasiswa magister atau doktoral.

Indikator Evaluasi Diri

NO URAIAN
1. Memiliki Komitmen dan Motivasi
2. Memiliki Nilai Guna dan Nilai Jual Pribadi Setelah Tamat Magister atau Doktor
3. Bisa Menyeimbangkan Tuntutan Pekerjaan dan Keluarga
4. Memiliki Keterampilan Membaca dan Menulis Efektif
5. Mampu Membayar Uang Kuliah, dan Menafkahi Keluarga
6. Bisa Bekerja Mandiri
7. Bisa Melakukan Perjalanan dan Kerja Malam Hari
8. Mampu Merespon atau Menanggapi Tekanan dan Batas Waktu untuk Menyelesaikan Sesuatu.
9. Memperluas Kemampuan Berpikir
10. Merasa Bangga dengan Pencapaian atau Prestasi Kita

11. Siap Berkorban

Apa yang mau kita korbankan atau pengorbanan apa yang mau kita lakukan? Hal ini sangat penting karena tidak ada keberhasilan, termasuk keberhasilan mencapai gelar magister atau doktor, tanpa ada pengorbanan.

12. Korbankan Kesenangan Sebentar untuk Tujuan Jangka Panjang

Menulis tesis atau disertasi merupakan tugas yang demanding, banyak persyaratan, memerlukan waktu yang lama, menghabiskan uang dan energy yang bisa mempengaruhi segala aspek kehidupan kita. Menulis tesis atau disertasi bisa menimbulkan ketegangan dalam hubungan antara kita dengan suami/istri, anak, kolega, atau teman dan bisa mempengaruhi pelaksanaan tugas sehingga dapat menimbulkan konflik antara kita dengan atasan kita.

Oleh karena itu, mahasiswa yang sedang menulis tesis atau disertasi seyogianya meminta dukungan dan pengertian kepada orang-orang di sekelilingnya. Mintalah kepada instansi tempat bekerja untuk tidak diberi pekerjaan ekstra selama menulis tesis atau disertasi. Kepada keluarga, sebaiknya minta izin untuk mempunyai kamar yang berantakan, karena mungkin buku akan berserakan ketika kita sedang menulis tesis atau disertasi membaca banyak referensi dan meminta pengertian kalau kita mengatakan “tidak” atas ajakan-ajakan yang kurang relevan dengan penulisan tesis atau disertasi. Demikian juga kepada kolega, kita hendaknya belajar mengatakan “tidak” tanpa ada rasa bersalah ketika kita diajak melakukan kegiatan yang kurang berkaitan dengan penulisan tesis atau disertasi.

13. Siap Mengalami Stress

Seberapa lama kita bertahan? Siapkah dengan stress yang biasanya mendampingi kemuduran dan tuntutan ekstra dalam waktu kita.

14. Tentukan Batas Waktu Kerja yang Efektif (Deadline)

Berdasarkan pengalaman penulis membimbing kandidiat doktor bahwa sebagian besar mahasiswa memerlukan “deadline” atau batas waktu untuk bekerja secara efektif. Mahasiswa harus berkata kepada diri sendiri bahwa menunggu sampai batas waktu untuk memulai menulis hasil penelitian akan menimbulkan stress yang semestinya tidak dialami, dan membuat mereka lelah dan tidak kreatif. Hal ini berdampak terhadap tesis atau disertasi yang ditulis.

15. Membangun Percaya Diri

Rasa percaya diri sangat besar peranannya dalam membantu mahasiswa menyelesaikan tugas belajarnya di tingkat magister atau doktor. Untuk membangun rasa percaya diri sebaiknya kita bertanya tentang beberapa hal sebagai berikut:
1) Menentukan format tesis atau disertasi sesuai peraturan yang akan dipakai.
2) Dukungan tutorial yang tersedia.
Kegagalan atau non-submissions atau tidak berhasilnya mahasiswa menyelesaikan tesis atau disertasi didominasi ole mereka yang enggan bertemu dentan tutor atau pembimbing atau promotor.
3) Menentukan waktu tesis atau disertasi diserahkan untuk diuji.
4) Menentukan cara tesis atau disertasi dipresentasikan.

16. Hadapi Tantangan yang Mungkin Menghambat Penyelesaian Menyusun Tesis atau Disertasi

Menulis tesis atau disertasi bukan hanya kegiatan intelektual, namun juga psikologis merupakan kegiatan pribadi, sesuatu yang mengetes kemampuan/kekuatan stamina, percaya diri dan ketahanan emosional. Khusus kepada mahasiswa doktor adalah dengan mau menghadapi segala tantangan yang ada dalam perjalanan penulisan disertasi dan melakukannya tanpa berhenti. Ada tantangan yang paling utama dalam perjalanan membuat tesis atau disertasi adalah: (1) Prokrastinasi atau penundaan pekerjaan, yang bisa menjadi “cara hidup” para penulis tesis atau disertasi, yang sebenarnya berkaitan dengan hambatan emosional. Menunda pekerjaan menulis tesis atau disertasi sama dengan menunda untuk mendapatkan gelar magister atau doktor; (2) writer’s block atau keadaan ketika penulis tidak bisa memunculkan gagasan atau ide dan tidak tahu apa yang dilakukan atau ditulis, Saat sebelum menulis mungkin keringat dingin mengucur di dahi kita seperti sedang diancam todongan pistol sewaktu-waktu siap meletus; dan (3) Karier dalam bekerja yang sudah cukup tinggi. Sehingga takut kehilangan jabatan yang sudah tinggi karena direbut pesaing, merasa lebih tahu ketika diberi masukan oleh pembimbing. Disarankan sebaiknya tanggalkan semua kedudukan jabatan tinggi ketika mereka berada di kampus.

Kegiatan Penghambat Penulisan Tesis atau Disertasi

NO URAIAN

1. Bermain computer untuk menjawab E-mail, Facebook, Twitter, Blog, Game, dll
2. Bermain Handphone
3. Jalan-jalan, berkunjung ke suatu tempat dalam waktu yang lama
4. Pekerjaan kantor menumpuk, dan lain sebagainya

17. Siap Menanggung Beban Psykologis Setelah Menyandang Gelar Magister atau Doktor

Sebagian besar mahasiswa melanjutkan kuliah ke jenjang magister atau doktor dengan harapan ingin mengubah status sosial, status ekonomi dan lain sebagainya. Misalkan, yang awalnya guru Sekolah Dasar (SD) berharap bisa menjadi dosen bisa mengajar di berbagai perguruan tinggi, atau menjadi pejabat tinggi, atau menjadi kaya setelah tamat kuliah menyadang gelar magister atau doktor, malah tidak terjadi perubahan apa-apa, tidak sesuai harapan awal. Hal ini akan dapat menimbulkan beban psikologis dan kecewa, apabila motivasi awalnya seperti tersebut. Yang perlu diingat bahwa Allah SWT menjanjikan bahwa Allah SWT akan meninggikan beberapa derajat bagi orang yang berilmu. Mendapat gelar magister atau doktor belum tentu memiliki ilmu yang luas dan dalam. Berkualitasnya seorang magister atau doktor tergantung pada proses perolehannya pada saat menyelesaikan perkuliahan dan selalu melakukan inovasi tiada henti setelah tamat kuliah.

Muncul Pertanyaan: “Buat Apa Sekolah Tinggi-Tinggi?”

201.jpgMemang benar banyak orang yang “sukses” tanpa menempuh pendidikan formal. Namun bukan berarti mereka yang belajar melalui sekolah formal tidak berhasil meraih “sukses”. Jika dihitung-hitung, banyak orang yang justru gagal total karena tak sempat mengenyam pendidikan formal. Saya menterjemahkan kesuksesan manusia bukan dari ukuran jabatan yang diraih atau kekayaan yang berhasil dikumpulkan, tetapi dari apakah individu mampu menjadi diri sendiri, hidup mandiri, tidak memberatkan/merepotkan dan apalagi sampai merugikan orang lain.

Orang sukses itu orang yang keberadaannya penuh kemandirian. Ia mempunyai kemampuan tertentu sebagai karya cipta yang di satu sisi mampu menghidupi dirinya sendiri, dan berguna untuk orang lain (masyarakatnya). Nah, kenyataannya banyak orang yang tak beruntung meraih kesempatan belajar di sekolah formal hidupnya kacau, merusak diri sendiri dan orang lain.

Saya ingin menegaskan, yang membuat orang itu mampu berkarya atau tidak, punya harga diri atau tidak, bukan ditentukan oleh apakah seseorang itu belajar di luar sekolah (otodidak) atau belajar di sekolah formal. Tamatan pendidikan formal yang jadi maling juga banyak, tapi banyak juga maling yang asal usulnya tak mengenyam pendidikan formal. Sebaliknya juga banyak jebolan pendidikan formal yang kapabel, terampil, dan bermoral, tapi jangan menutup mata prototipe manusia seperti itu juga bisa lahir dari otodidak. Berarti sekolah formal tak bisa divonis menjadi “biang kerok” ketidaksuksesan dalam hidup. Sukses tidaknya seseorang tergantung pada proses kreatif yang dilaluinya.
Masuk sekolah yang hebatnya seperti apa pun, membayarnya mahal, eksklusif, sudah bersertifikasi ISO 9001, lulusannya sudah banyak yang sukses di pekerjaannya, rasanya tidak berarti apa-apa jika individu bersangkutan tak memiliki etos belajar yang baik. Masuk sekolah top, tak ada gunanya jika tujuannya hanya mencari status — untuk gagah-gagahan, mencari selembar ijazah, dan agar namanya dihiasi dengan gelar doktor yang mentereng. Masuk sekolah formal tak cukup hanya sekadar datang, duduk, dan diam.

Punya Keahlian

Saya banyak menemukan teman yang bisa mencapai kemandirian hidup. Ketika ditanya apakah pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan program yang tertera dalam ijazahnya? Mereka jawab tidak, atau sedikit. Lalu buat apa kuliah tinggi-tinggi kalau bekerja di luar bidang kuliahnya?
Inilah problem pendidikan dan ketenagakerjaan di negeri ini. Lulusan pendidikan formal dengan beragam spesialisasi keahlian ternyata tidak mampu terserap lapangan pekerjaan. Ketika suatu bidang pekerjaan masih banyak membutuhkan tenaga kerja, orang beramai-ramai menyekolahkan anaknya ke jurusan itu, akibatnya terjadi booming lulusan sementara lapangan kerjanya menjadi terbatas.

Di sisi lain mereka yang sudah bekerja baik di swasta apalagi di pemerintahan banyak yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Sementara mereka yang pengangguran dan ijazahnya cocok dengan kebutuhan sangat sulit meraih pekerjaannya karena kecilnya kesempatan akibat banyaknya lulusan di bidang bersangkutan.
Ketika selembar ijazah tidak lagi mampu mengantarkan seseorang pada pekerjaan yang sesuai dengan ijazahnya, maka hanya faktor keahlian hidup yang bisa menghadapkan se-seorang pada sebuah pekerjaan.Seorang teman mengaku sangat beruntung dirinya sejak kecil menyukai sebuah hobi atau keterampilan, sehingga ketika izajahnya mentok ke sana-sini, dengan keahliannya ia bisa memperoleh pekerjaan dan memulai kemandirian.
Menyesalkah bersekolah atau kuliah?

Saya kira tidak patut kita menyesal telah menuntaskan sebuah program pendidikan meski dengan biaya yang mahal. Tidak ada istilah menyesal untuk belajar sebuah ilmu, bila tujuan mulia. Hanya ke depan anak-cucu kita, ada baiknya lebih diarahkan bersekolah mencari ilmu dan juga mengembangkan keterampilan hidup. Syukur-syukur hobi, minat, daan kepintarannya bisa kian terasah karena bersekolah yang sesuai dengan potensi dan bakat dirinya. Bila sejak dini anak tidak diberi keleluasaan mencari dan mengembangkan potensi dirinya,maka masa muda remajanya habis hanya untuk mengejar selembar ijazah formal, kita takut mereka suatu saat kelak bila dihadapkan pada nasib kurang beruntung, malah bingung tak bisa berbuat apa-apa. Ada yang nawarin ini, tak bisa, ada yang nawarin itu tak sanggup, kerja kasar gengsi, akhirnya menjadi beban hidup orang lain, nganggur tiada habisnya.

Menghadapi ketidakpastian di negeri ini, di mana lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi anak-anak kita kian sempit dan ketat persaingannya, para orangtua jangan terlena cukup merasa bangga pada perkembangan nilai anaknya semasa sekolah atau kuliah.Orangtua harus heran dan cemas bila anak-anaknya tidak menunjukkan sesuatu yang bisa dijadikan andalan kehidupannya kelak yakni bakat, dan keterampilan hidup. Sebab mengandalkan melulu pada angka-angka bukan jaminan meraih kemandirian.Suatu keahlian yang dimiliki anak-anak meski itu terkesan kecil, harus bisa dioptimalkan sebab kelak siapa tahu itu menjadi ‘penolong’ hidupnya.

Kurangi Orientasi Formalistik

Memang tak bisa kita pungkiri, orientasi formalistik yang terlalu dominan dalam pendidikan formal menyebabkan lembaga ini kehilangan makna hakikinya, yakni menjadi tempat penyemaian benih-benih intelektualitas, moralitas, dan estetika.
Ukuran pendidikan formal yang serba positivistik itu menyebabkan output yang terbentuk menjadi seperti data statistik; kebenaran seolah sama dengan deretan angka-angka. Kebenaran seolah tak boleh lagi dirasakan. Dimensi “rasa” telah hilang dalam proses kreatif mereka. Akibatnya, banyak lulusan pendidikan formal yang pandai berhitung, tapi rendah daya juangnya. Mudah putus asa, mudah menderita, mudah emosi, mudah merusak. Di sisi lain, proses pendidikan yang cenderung mekanistik pun melahirkan output seperti robot. Robot hanya bisa bekerja dengan instruksi, petunjuk, arahan, dan dengan cara yang sesuai dengan programnya. Bila programnya error, maka motoriknya pasti berantakan.

Namun, itu semua tergantung pada individu. Pendidikan formal sendiri saat ini masih cukup layak (meski belum sangat memuaskan) sebagai instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa. Paling tidak, individu bisa memperoleh beberapa hal penting: Pertama, penambahan pengetahuan (knowledge) sebagai basis wawasannya; Kedua, memperoleh dasar-dasar berpikir yang logis, sistematis, dan metodologis, sehingga bisa membantu mengarahkan yang bersangkutan tidak grusa-grusu dalam menjalani hidup. Kehidupan ini mesti dijalani seperti halnya kita menghampiri ilmu pengetahuan (scientific knowledge), yakni harus bertahap, masuk akal (logis), realistis (verifikatif-empirik).

Ketiga, secara sosiologis, individu dihadapkan pada interaksi sosial di mana bisa belajar akan persamaan dan perbedaan, konsensus dalam konflik, permisif dan filtering, dan sebagainya. Keempat, bagaimana pun dalam format pergeseran masyarakat dari yang bersifat agraris ke industri, belum menghargai individu berdasarkan karyanya, kapabilitasnya, kredibilitasnya, dan sejenisnya. Masyarakat masih mempertimbangkan aspek-aspek atribut simbolik seperti latar belakang pendidikan formalnya.
Bila eksistensi individu masih tergantung orang lain, maka atribut simbolik masih menentukan dalam stratifikasi sosial institusi di mana ia hidup. Hanya bagi individu-individu yang sangat kuat dan independenlah yang tak butuh gelar dari pendidikan formal. Beberapa contoh yang ditulis Beni Setia, seperti Arswendo Atmowiloto, D. Zawawi Imron, Umbu Landu Paranggi, Emha Ainun Nadjib, ataupun Beni Setia sendiri merupakan sosok yang memang creative oriented. Artinya, mereka justru tidak bisa kreatif jika terlalu banyak diatur, (Redi Panuju intt, 2006).

Dalam melihat masalah pendidikan formal ini, Saya lebih berpihak pada Rano Karno dengan semboyannya “Ayo Sekolah”. Pertim-bangannya, masalah kultur belajar dalam masyarakat yang belum kondusif. Jadi hanya mengandalkan lingkungan saja belum bisa berharap banyak. Justru lingkungan menunjukkan tanda-tanda yang tak kompromis terhadap tradisi otodidak.

Bagaimana mungkin kita bisa belajar dari lingkungan yang penuh anarkisme, primordialisme, sektarian, dan arogansi? Apa yang bisa dipelajari dari situasi sosial yang “phatologis”? Sedang mengandalkan membaca, kita belum memiliki peradaban membaca (reading habit) yang baik. Bahkan celakanya, sebelum peradaban literasi itu dikenal masyarakat, keburu diserbu oleh peradaban audio-visual. Jadi pendidikan formal sampai detik ini merupakan pilihan buruk daripada tak ada yang lain.

Justru persoalannya: bagaimana etos belajar otodidak itu bisa digiatkan di tengah pendidikan formal yang belum optimal? Sehingga content pendidikan formal yang dibatasi oleh sekat-sekat kurikulum itu bisa menjadi pijakan atau arahan garis besar mencapai kemajuan (guideline to improvement). Individu tidak boleh hanya mengandalkan transformasi melalui tatap muka di kelas. Tidak boleh ada prinsip bahwa individu hanya bisa pandai karena tatap muka di kelas. Individu hanya akan memperoleh manfaat optimal bila di luar pendidikan formal ia juga belajar otodidak.

Jadi, mereka yang belajar otodidak di kelas formal memperoleh dua manfaat sekaligus; mengenal kaidah-kaidah ilmu pengetahuan yang universal (berlaku di mana pun) dan mengenal diri sendiri dari aktualisasi yang kreatif. Jadi, tetaplah bersekolah tetapi harus kreatif. Semoga sukses di masa depan.***


Melayani Hypnotherapi, Hypnotis Training, dan Ruqyah Syar’iyyah Hubungi: Dr.Gumilar,S.Pd.,MM.,CH.,CHt.,pNNLPContact Person HP. 081323230058, PIN BB 58640EF8,atau https://drgumilar.wordpress.com/2014/01/15/hypnosis-shot-indonesia/ *** 

Pos terkait

banner 468x60